Namun hingga kini, struktur ekonomi Lampung masih bertumpu pada sektor pertanian dan perdagangan konvensional. Komoditas seperti singkong, kopi, lada, dan sawit memang menjadi andalan ekspor, namun sebagian besar masih dijual dalam bentuk mentah. Alhasil, nilai tambah dari produk tersebut justru dinikmati oleh daerah atau negara lain yang lebih dahulu mengadopsi digitalisasi.
Padahal, digitalisasi membuka jalan bagi pelaku usaha mikro kecil (UMK), petani, nelayan, hingga perajin untuk menjangkau konsumen secara langsung lewat marketplace, media sosial, dan platform e-commerce. Rantai distribusi yang selama ini panjang dan merugikan produsen dapat dipangkas, meningkatkan efisiensi dan pendapatan.
Kendati demikian, transformasi digital bukan hanya soal ketersediaan teknologi. Lampung masih menghadapi tantangan mendasar seperti infrastruktur internet yang belum merata, khususnya di daerah pedesaan. Banyak wilayah yang masih kesulitan sinyal, apalagi akses internet cepat. Ketimpangan ini membuat digitalisasi hanya tumbuh di kota besar seperti Bandar Lampung dan Metro.
Di sisi lain, pelaku UMK juga kerap kesulitan dalam menguasai keterampilan digital, mulai dari pemasaran online hingga pengelolaan transaksi digital. Pelatihan dan pendampingan berkelanjutan sangat diperlukan. Kolaborasi antara pemerintah daerah, perguruan tinggi, komunitas digital, dan sektor swasta menjadi kunci membangun kapasitas sumber daya manusia pelaku usaha.
Permodalan pun masih menjadi batu sandungan. Tak sedikit pelaku usaha yang ingin beralih ke digital namun terbentur akses pembiayaan. Bank dan lembaga keuangan diharapkan membuka skema khusus bagi UMK digital, sementara pemerintah daerah bisa memberi insentif fiskal atau subsidi penggunaan platform digital.
Tak hanya di sektor perdagangan, digitalisasi juga perlu menjangkau sektor pertanian dan pariwisata. Teknologi Internet of Things (IoT), agritech, hingga blockchain bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi pertanian. Sementara itu, promosi digital, sistem reservasi online, dan virtual tour dapat mendorong pariwisata Lampung ke panggung nasional dan internasional.
Peran generasi muda sangat vital dalam transformasi ini. Mereka tak hanya menjadi pengguna, tetapi juga kreator digital seperti pengembang aplikasi, pendiri startup, hingga kreator konten. Sayangnya, ekosistem startup di Lampung masih belum mendukung. Banyak anak muda memilih hijrah ke kota besar atau luar daerah karena merasa Lampung belum ramah terhadap inovasi digital.
Pemerintah provinsi perlu segera membangun iklim yang mendukung pertumbuhan startup dan inovasi lokal, misalnya dengan mempercepat perizinan usaha, membentuk inkubator bisnis digital di kampus, hingga rutin menggelar kompetisi startup tingkat daerah.
Jika Lampung bergerak cepat dan serius, menjadi pusat ekonomi digital di Pulau Sumatera bukanlah hal mustahil. Letaknya sebagai gerbang utama Jawa-Sumatera memberi Lampung posisi strategis sebagai hub distribusi digital dan logistik antarwilayah.
Lebih dari sekadar mendorong pertumbuhan ekonomi, bisnis digital juga membuka peluang kerja baru bagi anak muda tanpa harus meninggalkan kampung halaman. Ini bisa menjadi solusi untuk mengurangi urbanisasi dan memperkuat ekonomi lokal.
Transformasi digital bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan mendesak di era ekonomi baru. Sudah saatnya seluruh elemen—pemerintah, dunia pendidikan, komunitas, dan pelaku usaha—duduk bersama menyusun roadmap digitalisasi Lampung yang konkret, terukur, dan inklusif.
Lampung tidak cukup hanya menjadi lumbung pangan dan energi, tetapi juga harus menjadi pusat ekonomi digital yang cerdas dan kompetitif. Jika semua bergerak bersama, Lampung digital bukan lagi angan-angan tapi masa depan.
(Red)