KPK : Pertambangan Minerba Ilegal Dapat Dijerat Dengan Tipikor dan TPPU

Sabtu, 14 Mei 2022

KPK : Pertambangan Minerba Ilegal Dapat Dijerat Dengan Tipikor dan TPPU

Sabtu, 14 Mei 2022,


BONGKARSELATAN.COM – Kegiatan pertambangan mineral dan batu bara (minerba) yang tidak mengantongi ijin atau illegal dapat dijerat dengan ketentuan tindak pidana korupsi (tipikor) serta Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Dan saat ini, Korupsi disektor Sumber Daya Alam merupakan salah satu yang menjadi Konsen KPK. 


Hal ini dikatakan Ali Fikri selaku Pelaksana Tugas Juru Bicara Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) saat dikonfirmasi adaTah.com melalui telepon selulernya terkait apakah tambang illegal dapat dijerat dengan pasal-pasal tipikor dan TPPU. 


Menurutnya, ada tiga hal yang dapat dilihat untuk melihat potensi yang mengarah pada perbuatan koruptif. Potensi yang pertama dapat  dilihat apakah pelaku usaha pertambangan memberikan upeti terhadap penyelenggara negara maupun penegak hukum. 


“Saat ini kan kami akan membantu pihak polda kaltara yang sedang menangani perkara tindak pidana umum dibidang penambangan sumber daya alam yang digunakan adalah undang-undang minerba itu karena itu termasuk dalam kategori pidana umum bukan kategori khusus bukan korupsi, tetapi proses penambangan atau sumber daya alam ilegal seperti itu ada potensi-potensi korupsinya di sana. 


Kapan kemudian ada potensi korupsi yang terus akan di kaji oleh KPK, ketika apakah ada ketika kemudian misalnya si tersangka ini memberikan uang kepada penyelenggara negara disana sebagai suap gitu kan, baik aparat hukum maupun penyelenggara negara di tingkat daerahnya, itu yang pertama,” ungkap Ali Fikri, Jumat 13 Mei 2022. 


Sedangkan untuk potensi adanya perbuatan korupsi yang kedua dapat dilihat apakah ada suap dalam proses perijinannya. 


“Yang kedua apakah juga ada misalnya di cover dari ijin-ijin tanda kutip iiin-ijin gitu. Sekalipun ada ijinnya tetapi diperoleh dengan cara menyuap misalnya. Nah itu kan bagian dari korupsi di situ,” terangnya. 


Dan untuk potensi adanya korupsi yang ketiga dapat dlihat dari ada tidaknya pemasukan negara atas kegiatan aktifitas pertambangan yang dilakukan para pengusaha disektor pertambangan. 


“Nah yang ke 3 juga dari sektor apakah kemudian ada potensi kerugian keuangan negara dari penambangan ilegal itu, kenapa disana bisa kerugian keuangan negara karena tidak ada pemasukan ke negara kalau ilegal, kalau ilegal itu tidak ada pemasukan ke kas negara sebagai PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) misalnya maka bisa msuk kategori kerugian keuangan negara,” lanjut Juru Bicara berlatar belakang Jaksa ini. 


Lebih lanjut saat ditanya mengenai apakah menghitung kerugian negara dapat dihitung dari jumlah material yang diambil, Ali Fikri memaparkan jika perhitungan kerugian negara dapat dilakukan oleh para ahli. 


“Secara teknis itu melibatkan misalnya ahli-ahli lingkungan, sekarang  misalnya kesumber daya alam baik itu kehutanan pertambangan emas,batu bara dan lain-lain, itukan bisa diukur volumenya dan lain-lain kan. Nah ketika nanti volumenya di ukur, berapa pemasukan tetap negara yang harus disetorkan kan ada, dari situ kan bisa dihitung oleh ahli keuangan negara, melibatkan ahli lingkungan yang mengetahui aturan-aturan kehutanan ataupun pertambangan. Ahli-ahli hukum pertambangan, ahli keuangan negara itu dilibatkan secara teknis itu kerugian keuangan negra dari sektor sumber daya alam,” bebernya. 


Selain itu, perbuatan korupsi juga dapat dilakukan oleh para pengusaha tambang yang aktifitas kegiatan pertambangannya tidak sesuai dengan ijin yang dimiliki.


“Ya bisa dari sektor itunya nanti pemasukan ke kas negaranya kan tidak ada atau berkurang nah itu masuk dalam kategori korupsi, katanya. 


Namun, Ali Fikri menyebutkan jika KPK hanya dapat menangani perbuatan korupsi dimana pelakunya ada yang menjadi penyelenggara negara. Sedangkan untuk perbuatan korupsi yang pelakunya tidak ada penyelenggaranya maka penegakan hukum lebih kepada pihak Kepolisian maupun Kejaksaan. 


“Tetapi kan nanti terbatasnya begini untuk KPK itu kan harus ada penyelanggara negara, tidak bisa KPK nangani korupsi tidak ada penyelenggara negaranya. Nah makanya sebenarnya lebih luas juga tugas kepolisian tugas kejaksaan, kepolisian dan kejaksaan itu bisa menangani seluruh tindak pidana korupsi, tidak terbatas hanya saat ada penyelenggaran negara ataupun penegak hukumnya, sehingga KPK tidak bisa masuk ke wilayah wilayah yang bukan menjadi tugas pokok fungsi kewenangannya karena kita tetap harus patuh pada aturan. 


Prinsipnya tiga penegak hukum, kepolisian, kejaksaan dan KPK bisa naik perkara korupsi, tetapi KPK kan di batasi oleh adanya penyelenggaraan negara ataupun pelakunya penegak hukum. Adapun misalnya kerugian pemasukan keuangan negara itu unsur yang harus dipenuhi oleh seluruh penegak hukum kita. Tetapi kan subjeknya menjadi terbatas ketika KPK dibatasi undang-undang hanya penyelenggara negara ataupun penegak hukum,” Imbuhnya. 


Diketahui, KPK berdasarkan ketentuan di undang-undang yang baru, ada tugas pokok fungsi yang sebelumnya tidak ada yaitu fungsi eksekusi. Di KPK yang lama, KPK tidak memiliki data eksekutor, karena memang di undang-undang nya tidak ada disebutkan tugas pokok fungsi KPK dalam hal eksekusi. 


“Apa sih urgensinya sehingga kemudian ada tugas pokok fungsi ekseskusi di dalam undang-undang baru sebagai penguatan KPK, sekalipun sebagian orang mengatakan KPK saat ini lemah. Tapi sesungguhnya dengan adanya tugas pokok fungsi ini, inilah bagian dari penguatan KPK itu sendiri. Apa urgensinya, ya antara lain bahwa tujuan penegakan hukum melalui penindakan korupsi itu ada keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. 


Satu kemanfaatan misalnya terkait dengan asset recovery. Artinya bahwa KPK akan mengoptimalkan, disamping kemudian membawa para koruptor ini ke penjara, di hukum badan tapi juga memaksimalkan bagaimana aset-aset dari hasil tindak pidana korupsi itu kemudian di rampas untuk negara. Di rampas itu di setorkan pada kas negara yang pada gilirannya juga untuk kemakmuran rakyat. 


Artinya kita miskinkan koruptor, tidak hanya di penjara. Itulah yang menjadi kebijakan KPK baru saat ini dengan undang-undangnya 19 tahun 2019. Ini yang harus saya sampaikan, karena sampai hari ini masih ada sebagian orang yang mengatakan KPK menjadi lemah, tetapi sesungguhnya dengan tugas pokok fungsi ini maka KPK menjadi lebih kuat dari sisi tujuan penegakan hukum di bidang pidananya tidak hanya fokus memenjarakan orang, tapi bagaimana negara juga mendapatkan hasil-hasil dari tindak pidana korupsi yang bisa dinikmati oleh para koruptor, kita tarik aset-aset para koruptor itu dari hasil tindak pidana korupsinya," bebernya. 


Hal itu semua, masih Ali Fikri, Secara teknis maka KPK saat ini membentuk sebuah direktorat baru, namanya pengelolaan barang bukti dan eksekusi. Satu diantaranya ada unit yang disebut asset tracking. Dulu juga sudah ada unit asset tracking ini, tetapi penguatannya sekarang ada karena dalam dasar hukumnya yaitu berupa undang-undang, bahkan menjadi satu kedirektoratan yang mana kemudian disitu dioptimalkan orang-orangnya dengan kompetensi yang dimilikinya yaitu unit asset tracking. 


Dibentuk juga unit accounting forensik, dalam rangka untuk membackup, mensuport bagaimana aset-aset para koruptor itu bisa ditemukan. Dimana aset-aset yang dinikmati oleh para koruptor itu bisa ditemukan dari hasil tindak pidana korupsi yang sudah berubah menjadi barang, menjadi aset, dan lain-lain bisa ditemukan oleh KPK melalui 2 unit ini yaitu asset tracking dan accounting forensik. 


“Ini unit baru accounting forensik ini. Sehingga inilah menjadi penguatan dari kerja-kerja teman-teman yang ada didalamnya untuk menelusuri aset-aset dan aliran uang, karena nanti di dalam penerapannya ada tindak pidana pencucian uang.  TPPU saat ini ada 12 perkara yang sedang berjalan di KPK Tindak pidana pencucian uang, dimana disana kita tahu secara normatif TPPU itu mencari aliran uang itu kemana digunakan, nah ini kan pada fungsi aset tracking, terutama accounting forensiknya untuk menelusuri bukan dengan cara-cara ilmu hukum, tapi ilmu-ilmu accounting, ilmu-ilmu tertentu, kompetensi dari teman-teman di 2 unit ini cukup berpengalaman untuk menelusuri aset-aset para koruptor,” tambahnya. 


Seperti diketahui, KPK telah memiliki beberapa pengalaman terkait pengungkapan korupsi dibidang Sumber Daya alam (SDA). 


“KPK punya pengalaman terkait dengan SDA, misalnya di Sulawesi Tenggra dengan terpidana gubernurnya, kemarin baru kami rilis, dia sudah mengembalikan 3,5 miliar uang denda dan uang pengganti nya. Kemudian pengalaman KPK kedua, di Riau Pekanbaru pernah juga menghitung kerugian keuangan negara dari sektor kehutanan misalnya waktu itu kan ilegal logging, dimana hutan-hutan di tebangi sebagainya untuk proyek-proyek sumber daya alam sehingga dihitung kerugian keungan negaranya, bisa dihitung dari kerugian sosialnya, kerugian alamnya, kerugian sosiologisnya. Nah itu bisa dihitung dengan ahlinya misalnya dari ahli-ahli lingkungan, ahli-ahli yang berhubungan dengan keuangan negaranya itu pasti dilibatkan secara teknis begitu. 


Sehingga potensi di sektor SDA kalau kemudian ada unsur-unsur terpenuhi terkait dengan tindak pidana korupsi itu bisa di tangani oleh KPK karena memang KPK ini kan terbatas kewenangannya yang hanya menangani dua tindak pidana yaitu korupsi dan TPPU,” pungkasnya. 


(***/rls)

TerPopuler