Jangan Pertentangkan Agama dan Sains!!!

Rabu, 29 April 2020

Jangan Pertentangkan Agama dan Sains!!!

Rabu, 29 April 2020,
Bongkarselatan.com - Asumsi bahwa secara otomatis tindakan beriman berarti meninggalkan sains, itu keliru. Seolah-olah sains dan agama jadi “musuh bebuyutan”. SayaSaya ingin melanjutkan perbincangan tentang sifat Tuhan yang satu ini: al-‘ilm, pengetahuan. Sebagaimana sudah saya jelaskan, salah satu ciri wujud yang berkualitas tinggi adalah adanya pengetahuan di sana.
Wujud yang tidak disertai dengan ‘ilmu memiliki martabat yang rendah, inferior. Semahal apa pun suatu bebatuan, seperti emas atau berlian, ia, dari segi martabat wujud, jauh berada di bawah manusia. Sebab ia tak memiliki potensi untuk “mengetahui”.

Secara individual, jelas ada manusia yang tak berilmu, the ignoramus, orang yang bodoh dan “ngengkel” dengan kebodohannya. Tetapi kita membicarakan manusia sebagai al-jinsu, spesies. Meski ada orang bodoh, tetapi sebagai spesies manusia memiliki qabiliyyah li-l-‘ilm, potensi untuk menerima ilmu.

Di dalam diri manusia, ada “fakultas” atau kemampuan mental untuk mempelajari hal-hal baru. Derajat kemampuan itu bisa berbeda dari orang ke orang. Potensi inilah yang membuat derajat wujud manusia berada persis di bawah Tuhan.

Ibn ‘Arabi (w. 1240), dalam Fusus al-Hikam, menegaskan bahwa Adam (atau manusia secara keseluruhan) adalah tujuan penciptaan alam raya ini. Pada anak cucu Adam ada suatu keunikan (apa yang ia sebut sebagai “kalimah Adamiyyah”) yang tak ada pada makhluk lain: yaitu kemampuan mengetahui.

Pada manusia, jika kita ikuti teori Ibn ‘Arabi, Tuhan seperti melihat semacam “alter-ego”- Nya. Manusia adalah, dalam bahasa dia, “mir’atun majluwwatun,” cermin yang cemerlang di mana Tuhan akan melihat citra diri-Nya.

Dengan kata lain, manusia nyaris semacam “tuhan kecil”, karena di dalamnya telah ditiupkan ruh-Nya, nafkhah ilahiyyah. Noah Yuval Harari, penulis selebriti dunia itu, menyebutnya sebagai “homo deus,” manusia-tuhan (meski dia memakai istilah ini dalam pengertian yang agak beda).

Tetapi ada satu “caveat,” peringatan: meski memiliki sifat-sifat Tuhan, manusia tak dibolehkan untuk gembelengan, kibriya’, sombong. Sifat ini hanya boleh dimiliki dan diperagakan oleh Tuhan. Wa-lahu-l-kibriya’u fi-l-samawati wa-l-‘ardli—bagi Tuhan sajalah kesombongan, baik di langit atau bumi (QS 45:37). Meski godaan untuk sombong amatlah besar pada manusia!
Tentu saja, ilmu yang ada pada manusia bukanlah orisinal, asli muncul dari dirinya sendiri, melainkan bersifat derivatif, berasal dari sumber lain: Tuhan. Dalam pandangan seorang beriman, semua ilmu berasal dari sumber yang sama: Tuhan.

Meski demikian, Tuhan tak memberikan begitu saja secara “gratis” ilmu-ilmu itu kepada manusia. Ada jalan yang harus ia lalui untuk memperolehnya.
Ada dua jalan yang harus ditempuh, sebagaimana dijelaskan oleh ushuliyyun (ulama yang mengkaji filsafat hukum Islam).

Yang pertama adalah jalan daruri, yaitu ilmu-ilmu yang diperoleh secara spontan tanpa harus menalar (istidlal). Yang kedua: jalan iktisabi, yaitu ilmu-ilmu yang harus di-“rebut” dengan usaha-keras melalui proses penalaran.

Sebetulnya ada jalan ketiga seperti dijelaskan al-Ghazali dalam Ihya’, yaitu, jalan ilhami – yakni, ilmu-ilmu yang diperoleh secara langsung melalui “pengilhaman” dari Tuhan. Meskipun jalan ketiga ini boleh saja kita pandang sebagai bagian dari “ilmu-ilmu iktisabi.”

Dengan kata lain, manusia nyaris semacam “tuhan kecil”, karena di dalamnya telah ditiupkan ruh-Nya, nafkhah ilahiyyah. Noah Yuval Harari, penulis selebriti dunia itu, menyebutnya sebagai “homo deus,” manusia-tuhan (meski dia memakai istilah ini dalam pengertian yang agak beda).

Tetapi ada satu “caveat,” peringatan: meski memiliki sifat-sifat Tuhan, manusia tak dibolehkan untuk gembelengan, kibriya’, sombong. Sifat ini hanya boleh dimiliki dan diperagakan oleh Tuhan. Wa-lahu-l-kibriya’u fi-l-samawati wa-l-‘ardli—bagi Tuhan sajalah kesombongan, baik di langit atau bumi (QS 45:37). Meski godaan untuk sombong amatlah besar pada manusia!
Tentu saja, ilmu yang ada pada manusia bukanlah orisinal, asli muncul dari dirinya sendiri, melainkan bersifat derivatif, berasal dari sumber lain: Tuhan. Dalam pandangan seorang beriman, semua ilmu berasal dari sumber yang sama: Tuhan.
Meski demikian, Tuhan tak memberikan begitu saja secara “gratis” ilmu-ilmu itu kepada manusia. Ada jalan yang harus ia lalui untuk memperolehnya.

Ada dua jalan yang harus ditempuh, sebagaimana dijelaskan oleh ushuliyyun (ulama yang mengkaji filsafat hukum Islam).

Yang pertama adalah jalan daruri, yaitu ilmu-ilmu yang diperoleh secara spontan tanpa harus menalar (istidlal). Yang kedua: jalan iktisabi, yaitu ilmu-ilmu yang harus di-“rebut” dengan usaha-keras melalui proses penalaran.

Sebetulnya ada jalan ketiga seperti dijelaskan al-Ghazali dalam Ihya’, yaitu, jalan ilhami – yakni, ilmu-ilmu yang diperoleh secara langsung melalui “pengilhaman” dari Tuhan. Meskipun jalan ketiga ini boleh saja kita pandang sebagai bagian dari “ilmu-ilmu iktisabi.”
 (Andri)


TerPopuler