BONGKARSELATAN.COM, LAMPUNG SELATAN - Enam bulan pasca-terbongkarnya skandal stempel palsu yang mengguncang Desa Baktirasa, Kecamatan Sragi, Lampung Selatan, kasus dugaan manipulasi keuangan desa ini masih belum jelas ujungnya. Kondisi tersebut menimbulkan kekecewaan dan pertanyaan besar dari masyarakat terhadap keseriusan aparat penegak hukum (APH) Lampung Selatan, jumat (3/10/2025).
Kasus ini pertama kali mencuat pada 9 Februari 2025, saat Jajang Supriatna, S.Pd., mantan Sekretaris Desa Baktirasa, menemukan puluhan stempel dan cap yang diduga palsu di kantor desa. Temuan itu mencakup stempel resmi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) hingga stempel toko material bangunan dan warung sembako.
“Keberadaan stempel-stempel palsu ini menimbulkan kecurigaan kuat adanya manipulasi dokumen dan penggelapan dana desa. Ini bukan sekadar kesalahan administrasi, melainkan tindakan kriminal yang terencana dan sistematis,” ungkap Jajang Supriatna kala itu.
Sementara itu, Kepala Desa Baktirasa, Sarna, pada Minggu sore (9/2/2025) sekitar pukul 16.40 WIB mengaku tidak mengetahui kasus tersebut. Namun ia menyebut bahwa stempel-stempel palsu itu digunakan oleh bendahara desa. Pernyataan ini justru memperkeruh suasana dan memicu kecaman dari berbagai pihak.
Hingga kini, lebih dari setengah tahun berlalu, kasus yang seharusnya menjadi prioritas penegakan hukum itu belum menunjukkan progres signifikan. Warga pun mempertanyakan, apakah ada upaya untuk membungkam kasus ini, atau memang kinerja APH Lampung Selatan belum optimal dalam menangani dugaan korupsi di tingkat desa.
Menurut sejumlah pengamat, kasus Baktirasa mencerminkan lemahnya pengawasan dalam pengelolaan dana desa secara nasional. Dana triliunan rupiah yang digelontorkan pemerintah pusat seharusnya dikelola secara transparan dan akuntabel, bukan justru membuka peluang terjadinya penyelewengan.
Masyarakat mendesak aparat hukum untuk mengusut tuntas kasus ini dengan transparan dan tanpa pandang bulu. Penegakan hukum yang tegas dinilai sangat penting untuk mengembalikan kepercayaan publik, memberi efek jera, serta memastikan dana desa benar-benar digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.
Kejelasan informasi publik dan keterbukaan proses hukum disebut menjadi kunci utama untuk mencegah terulangnya kasus serupa serta menjaga akuntabilitas pemerintahan desa.
(Red)